JOKO WIDODO
Masa kecil
Joko Widodo lahir dari pasangan Noto Mihardjo dan Sujiatmi Notomiharjo.
Dengan kesulitan hidup yang dialami, ia terpaksa berdagang, mengojek
payung, dan jadi kuli panggul untuk mencari sendiri keperluan sekolah
dan uang jajan. Saat anak-anak lain ke sekolah dengan sepeda, ia memilih
untuk tetap berjalan kaki. Mewarisi keahlian bertukang kayu dari
ayahnya, ia mulai pekerjaan menggergaji di umur 12 tahun. Penggusuran
yang dialaminya sebanyak tiga kali di masa kecil
mempengaruhi cara berpikirnya dan kepemimpinannya kelak setelah menjadi
Walikota Surakarta saat harus menertibkan pemukiman warga.[8]
Masa kuliah dan berwirausaha
Dengan performa akademis yang dimiliki, ia diterima di Jurusan Kehutanan, Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada. Kesempatan ini dimanfaatkannya untuk belajar struktur kayu, pemanfaatan, dan teknologinya.[9]
Selepas kuliah, ia bekerja di BUMN, namun tak lama memutuskan keluar
dan memulai usaha dengan menjaminkan rumah kecil satu-satunya, dan
akhirnya berkembang sehingga membawanya bertemu Micl Romaknan, yang
akhirnya memberinya panggilan yang populer hingga kini, Jokowi. Dengan
kejujuran dan kerja kerasnya, ia mendapat kepercayaan dan bisa
berkeliling Eropa yang membuka matanya. Pengaturan kota yang baik di
Eropa menjadi inspirasinya untuk diterapkan di Solo dan menginspirasinya
untuk memasuki dunia politik. Ia ingin menerapkan kepemimpinan
manusiawi dan mewujudkan kota yang bersahabat untuk penghuninya.
Karier politik
Wali Kota Surakarta
Dengan berbagai pengalaman di masa muda, ia mengembangkan Solo yang
buruk penataannya dan berbagai penolakan masyarakat untuk ditertibkan.
Di bawah kepemimpinannya, Solo mengalami perubahan dan menjadi kajian di
universitas luar negeri
Rebranding Solo
menjadi tuan rumah Festival Musik Dunia (FMD) yang diadakan di kompleks Benteng Vastenburg yang terancam digusur untuk dijadikan pusat bisnis dan perbelanjaan. FMD pada tahun 2008 diselenggarakan di komplek Istana Mangkunegaran.
Mendamaikan Keraton Surakarta
Pada tanggal 11 Juni 2004, Paku Buwono XII
wafat tanpa sempat menunjuk permaisuri maupun putera mahkota, sehingga
terjadi pertentangan antara kedua putranya, Sampeyan Dalem Ingkang
Sinuwun Kanjeng Susuhunan (SDISKS) Paku Buwono XIII dan Kanjeng Gusti
Pangeran Haryo (KGPH) Panembahan Agung Tedjowulan. Selama tujuh tahun
ada dua raja yang ditunjuk oleh kedua pihak di dalam satu Keraton.[13]
Konflik ini akhirnya mendorong campur tangan pemerintah Republik
Indonesia dengan menawarkan dualisme kepem
impinan, dengan Paku Buwono XIII sebagai Raja dan KGPH Panembahan Agung Tedjowulan sebagai wakil atau Mahapatih. Penandatanganan kesepahaman ini didukung oleh empat perwakilan menteri, yaitu Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Pekerjaan Umum serta Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Namun konflik belum selesai karena beberapa keluarga keraton masih menolak penyatuan ini.[14]
impinan, dengan Paku Buwono XIII sebagai Raja dan KGPH Panembahan Agung Tedjowulan sebagai wakil atau Mahapatih. Penandatanganan kesepahaman ini didukung oleh empat perwakilan menteri, yaitu Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Pekerjaan Umum serta Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Namun konflik belum selesai karena beberapa keluarga keraton masih menolak penyatuan ini.[14]
Puncaknya adalah penolakan atas Raja dan Mahapatih untuk memasuki
Keraton pada tanggal 25 Mei 2012. Keduanya dicegat di pintu utama
Keraton di Korikamandoengan.[15]
Jokowi akhirnya berperan menyatukan kembali perpecahan ini setelah
delapan bulan menemui satu per satu pihak keraton yang terlibat dalam
pertentangan.[16]
Pada tanggal 4 Juni 2012 akhirnya Ketua DPR Marzuki Alie menyatakan
berakhirnya konflik Keraton Surakarta yang didukung oleh pernyataan
kesediaan melepas gelar oleh Panembahan Agung Tedjowulan, serta kesiapan
kedua keluarga untuk melakukan rekonsiliasi.[17]
Penghargaan
Atas prestasinya, oleh Majalah Tempo, Joko Widodo terpilih menjadi salah satu dari "10 Tokoh 2008".[18] Kebetulan di majalah yang sama pula, Basuki Tjahaja Purnama,
atau akrab dengan panggilan Ahok pernah terpilih pula dalam "10 Tokoh
2006" atas jasanya memperbaiki layanan kesehatan dan pendidikan di
Belitung Timur. Ahok kemudian akan menjadi pendampingnya di Pilgub DKI tahun 2012.[19]
Pada tanggal 12 Agustus 2011, ia juga mendapat penghargaan Bintang
Jasa Utama untuk prestasinya sebagai kepala daerah mengabdikan diri
kepada rakyat.[20] Bintang Jasa Utama ini adalah penghargaan tertinggi yang diberikan kepada warga negara sipil.[21]
Pada Januari 2013, Joko Widodo dinobatkan sebagai wali kota terbaik ke 3
di dunia atas keberhasilannya dalam memimpin Surakarta sebagai kota
seni dan budaya, kota paling bersih dari korupsi, serta kota yang paling
baik penataannya.[22]
Gubernur DKI Jakarta
Jokowi diminta secara pribadi oleh Jusuf Kalla untuk mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI Jakarta[23] pada Pilgub DKI tahun 2012.
Karena merupakan kader PDI Perjuangan, maka Jusuf Kalla meminta
dukungan dari Megawati Soekarnoputri, yang awalnya terlihat masih ragu.
Sementara itu Prabowo Subianto juga melobi PDI Perjuangan agar bersedia
mendukung Jokowi sebagai calon gubernur karena membutuhkan 9 kursi lagi
untuk bisa mengajukan Calon Gubernur.[24] Pada saat itu, PDI Perjuangan hampir memilih untuk mendukung Fauzi Bowo dan Jokowi sendiri hampir menolak dicalonkan.[25]
Sebagai wakilnya, Basuki T Purnama yang saat itu menjadi anggota DPR
dicalonkan mendampingi Jokowi dengan pindah ke Gerindra karena Golkar
telah sepakat mendukung Alex Noerdin sebagai Calon Gubernur.[26]
Pasangan ini awalnya tidak diunggulkan. Hal ini terlihat dari klaim
calon petahana yang diperkuat oleh Lingkaran Survei Indonesia bahwa
pasangan Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli akan memenangkan pilkada dalam
satu putaran.[27] Selain itu, PKS yang meraup lebih dari 42 persen suara untuk Adang Daradjatun di pilkada 2007 juga mengusung Hidayat Nur Wahid
yang sudah dikenal rakyat sebagai Ketua MPR RI periode 2004-2009.
Dibandingkan dengan partai lainnya, PDIP dan Gerindra hanya mendapat
masing-masing hanya 11 dan 6 kursi dari total 94 kursi, jika
dibandingkan dengan 32 kursi milik Partai Demokrat untuk Fauzi Bowo,
serta 18 Kursi milik PKS untuk Hidayat Nur Wahid.[28] Namun LP3ES sudah memprediksi bahwa Jokowi dan Fauzi Bowo akan bertemu di putaran dua.[29]
Hitung cepat yang dilakukan sejumlah lembaga survei pada hari
pemilihan, 11 Juli 2012 dan sehari setelah itu, memperlihatkan Jokowi
memimpin, dengan Fauzi Bowo di posisi kedua.[30] Pasangan ini berbalik diunggulkan memenangi pemilukada DKI 2012 karena kedekatan Jokowi dengan Hidayat Nur Wahid saat pilkada Walikota Solo 2010[31] serta pendukung Faisal Basri dan Alex Noerdin dari hasil survei cenderung beralih kepadanya.[32]
Pilkada 2012 putaran kedua
Jokowi berusaha menghubungi dan mengunjungi seluruh calon,[33] termasuk Fauzi Bowo,[34] namun hanya berhasil bersilaturahmi dengan Hidayat Nur Wahid[35] dan memunculkan spekulasi adanya koalisi di putaran kedua.[36] Setelahnya, Fauzi Bowo juga bertemu dengan Hidayat Nur Wahid.
Namun keadaan berbalik setelah partai-partai pendukung calon lainnya
di putaran pertama, malah menyatakan dukungan kepada Fauzi Bowo.[37]
Hubungan Jokowi dengan PKS juga memburuk dengan adanya tudingan bahwa
tim sukses Jokowi memunculkan isu mahar politik Rp50 miliar.[38] PKS meminta isu ini dihentikan,[39] sementara tim sukses Jokowi menolak tudingan menyebutkan angka imbalan tersebut.[40]
Kondisi kehilangan potensi dukungan dari partai-partai besar diklaim
Jokowi sebagai fenomena "Koalisi Rakyat melawan Koalisi Partai".[41]
Klaim ini dibantah pihak Partai Demokrat karena PDI Perjuangan dan
Gerindra tetap merupakan partai politik yang mendukung Jokowi, tidak
seperti Faisal Basri dan Hendrardji yang merupakan calon independen.[42] Jokowi akhirnya mendapat dukungan dari tokoh-tokoh penting seperti Misbakhun dari PKS,[43] Jusuf Kalla dari Partai Golkar,[44] Indra J Piliang dari Partai Golkar,[45] serta Romo Heri yang merupakan adik ipar Fauzi Bowo.[46]
Pertarungan politik juga merambah ke dunia media sosial dengan peluncuran Jasmev,[47] pembentukan media center,[48] serta pemanfaatan media baru dalam kampanye politik seperti Youtube.[49]
Pihak Fauzi Bowo menyatakan juga ikut turun ke media sosial, namun
mengakui kelebihan tim sukses dan pendukung Jokowi di kanal ini.[50]
Putaran kedua juga diwarnai berbagai tudingan kampanye hitam, yang antara lain berkisar dalam isu SARA,[51] isu kebakaran yang disengaja,[52] korupsi,[53] dan politik transaksional.[54]
Menjelang putaran kedua, berbagai survei kembali bermunculan yang
memprediksi kemenangan Jokowi, antara lain 36,74% melawan 29,47% oleh
SSSG,[55] 72,48% melawan 27,52% oleh INES,[56] 45,13% melawan 37,53% dalam survei elektabilitas oleh IndoBarometer,[57] 45,6% melawan 44,7% oleh Lembaga Survei Indonesia.[58]
Setelah pemungutan suara putaran kedua, hasil penghitungan cepat
Lembaga Survei Indonesia memperlihatkan pasangan Jokowi - Ahok sebagai
pemenang dengan 53,81%. Sementara rivalnya, Fauzi Bowo - Nachrowi Ramli mendapat 46,19%.[59] Hasil serupa juga diperoleh oleh Quick Count IndoBarometer 54.24% melawan 45.76%,[60] dan lima stasiun TV.[61] Perkiraan sementara oleh metode Quick Count diperkuat oleh Real Count PDI Perjuangan dengan hasil 54,02% melawan 45,98%,[62] Cyrus Network sebesar 54,72% melawan 45,25%.[63] Dan akhirnya pada 29 September 2012,
KPUD DKI Jakarta menetapkan pasangan Jokowi - Ahok sebagai gubernur dan
wakil gubernur DKI yang baru untuk masa bakti 2012-2017 menggantikan Fauzi Bowo - Prijanto.[64][65]
Pasca Pilkada 2012
Setelah resmi menang di perhitungan suara, Jokowi masih diterpa isu
upaya menghalangi pengunduran dirinya oleh DPRD Surakarta., namun
dibantah oleh DPRD.[66] Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi juga menyatakan akan turun tangan jika masalah ini terjadi,[67]
karena pengangkatan Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta tidak dianggap
melanggar aturan mana pun jika pada saat mendaftar sebagai Calon
Gubernur sudah menyatakan siap mengundurkan diri dari jabatan sebelumnya
jika terpilih, dan benar-benar mengundurkan diri setelah terpilih.[68]
Namun setelahnya, DPR merencanakan perubahan terhadap Undang-Undang No
34 tahun 2004, sehingga setalah Jokowi, kepala daerah yang mencalonkan
diri di daerah lain, harus terlebih dahulu mengundurkan diri dari
jabatannya pada saat mendaftarkan diri sebagai calon.[69]
Atas alasan administrasi terkait pengunduran diri sebagai Walikota
Surakarta dan masa jabatan Fauzi Bowo yang belum berakhir, pelantikan
Jokowi tertunda[70] dari jadwal awal 7 Oktober 2012 menjadi 15 Oktober 2012.[71]
Acara pelantikan diwarnai perdebatan mengenai biaya karena adanya
pernyataan Jokowi yang menginginkan biaya pelantikan yang sederhana.[72]
DPRD kemudian menurunkan biaya pelantikan menjadi Rp 550 juta, dari
awalnya dianggarkan Rp 1,05Miliar dalam Perubahan ABPD. Acara pelantikan
juga diramaikan oleh pedagang kaki lima yang menggratiskan dagangannya.[73]
Sehari usai pelantikan, Jokowi langsung dijadwalkan melakukan kunjungan ke masyarakat.[74]
Kartu Jakarta Sehat
- Untuk keterangan lebih lanjut mengenai program DKI Jakarta ini, silakan kunjungi artikel Kartu Jakarta Sehat
Program pertamanya yang langsung mendapat apresiasi adalah Kartu
Jakarta Sehat, yang bertujuan mereformasi jaminan kesehatan di Jakarta.
Sebelumnya, masyarakat miskin harus mengurus banyak surat dan rujukan
dengan birokrasi berbelit sebelum bisa mendapat keringanan biaya
kesehatan. Dengan Kartu Jakarta Sehat, masyarakat bisa langsung mendapat
layanan gratis di Puskesmas dan dirujuk ke Rumah Sakit tertentu jika
memerlukan perawatan lebih lanjut. Program ini ditangani oleh Askes
sebagai Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) yang telah resmi ditunjuk
oleh Undang-Undang.
Sejak diluncurkan pada 10 November 2012,[75]
Kartu Jakarta Sehat mendapat banyak kritik dan masukan dari berbagai
pihak. Misalnya anggota Badan Anggaran DPRD DKI Johny Wenas yang takut
KJS akan melanggar aturan dan Perda karena masih ada program serupa
sedang berjalan pada tahun 2012.[76]
Saran lain datang dari Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi yang menganggap
DKI Jakarta harus berupaya memperbaiki kurangnya infrastruktur, baik
sumber daya manusia maupun alat kesehatan, serta sistem rujukan agar
pasien KJS bisa ditangani dengan baik dan tepat waktu.[77]
Kontroversi terjadi saat 16 Rumah Sakit swasta berniat mundur dari
KJS karena ketidakjelasan sistem paket INA-CBGS yang hendak diterapkan
Kementrian Kesehatan dalam jaminan KJS. Namun akhirnya hanya 2 Rumah
Sakit yang menyatakan menghentikan layanan KJS untuk mengevaluasi ulang.
Sementara 14 Rumah Sakit lainnya setuju tetap melanjutkan KJS setelah
kesimpangsiuran ini dibicarakan bersama.[78]
Namun masalah ini terlanjur berkembang menjadi konflik politik setelah
beberapa anggota DPRD mengancam akan menjadikan hal ini sebagai alasan
pemakzulan terhadap Gubernur dan Wakil Gubernur.[79]
Protes serikat buruh atas UMP
Selanjutnya, pada 24 Oktober 2012 yang lalu, terjadi unjuk rasa di Balaikota yang dilakukan sekumpulan buruh dari Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia.[80]
Awalnya buruh menuntut kenaikan UMP menjadi Rp 2,79 juta, yang
ditanggapi ajakan dialog oleh Basuki Tjahaja Purnama dengan perwakilan
buruh. Akhirnya disepakati penggunaan angka survei Kecukupan Hidup Layak
bulan terakhir, dari sebelumnya yang dirata-rata dari data Februari
2012 hingga Oktober 2012,[81] serta berbagai poin lainnya sehingga menjadi 13 kesepakatan.[82]
Jokowi kemudian menyerahkan penghitungan UMP yang layak kepada Dewan
Pengupahan yang awalnya memunculkan rekomendasi angka Rp1,9 juta. Namun
sidang ini diganggu oleh tindakan buruh yang memanggil kembali
perwakilannya, sehingga angka ini baru mewakili kepentingan pengusaha.[83]
Akhirnya disepakati oleh berbagai pihak bahwa Upah Minimum Provinsi
sebesar Rp 2,2 juta yang kemudian ditetapkan oleh Dewan Pengupahan.[84]
Jokowi melakukan berbagai konsultasi, termasuk dengan Menakertrans Muhaimin Iskandar, Gubernur Banten, dan Gubernur Jawa Barat
untuk menentukan UMP yang tepat bagi buruh di DKI Jakarta agar tidak
mengalami ketimpangan dengan daerah penyangga, namun masih layak untuk
dinikmati pekerja.[85]
Protes kembali terjadi pada akhir tahun 2013 karena buruh mendesak kenaikan kembali UMP menjadi Rp 3,7 juta,[86]
sementara pengusaha menolak angka tersebut dan menginginkan angka Rp
2,29 juta. Akhirnya diputuskan angka tengah sebesar Rp 2,44 juta. Buruh
menolak karena Rp 3,7 juta angka mati[86] dan sempat mencap Jokowi dan Ahok sebagai Bapak Upah Murah[87]
dan mengancam akan menduduki Balai Kota selama berhari-hari, namun
akhirnya demonstrasi bubar dengan sendirinya dan UMP Rp 2,44 juta
berlaku di DKI Jakarta sejak 1 November 2013[88]
Lelang jabatan
Pada April hingga Juni 2013, Jokowi menciptakan sistem baru dalam
penempatan birokrasi, yaitu lelang jabatan. Dalam sistem ini, setiap PNS
diberi kesempatan yang sama untuk menduduki posisi yang diinginkannya
dengan memenuhi kualifikasi dan mengikuti tes. Hasil tes diumumkan
secara transparan dan pemerintah provinsi menempatkan PNS tersebut
sesuai prestasi dan kualifikasinya.[89]
Hal ini menimbulkan kontroversi dengan adanya penolakan dari lurah
dan camat yang posisinya terganggu akibat seleksi ini. Salah satu yang
menjadi sorotan adalah lurah Warakas yang mengancam akan memperkarakan
sistem lelang jabatan.[90] Ia awalnya menolak mengikuti seleksi lelang jabatan ini, namun akhirnya berhasil mendapat posisi di kelurahan Tugu Utara.[91]
Keefektivan lelang jabatan menjadi pertanyaan setelah Basuki Tjahaja
Purnama mengakui 60 persen lurah hasil lelang jabatan tidak memuaskan.[92]
Bahkan dalam waktu satu tahun, lurah Ceger dan bendaharanya, tertangkap
melakukan markup anggaran senilai Rp 450 juta dan kini menjadi tahanan
Kejaksaan Negeri Jakarta Timur.[93]
Relokasi warga penghuni waduk
Setelah banjir Jakarta 2013, diketahui bahwa waduk di Jakarta
kesulitan menampung air karena pendangkalan dan pendudukan warga.
Pemprov DKI kemudian melakukan relokasi secara bertahap terhadap warga
yang antara lain menempati lahan waduk Pluit dan Ria Rio.[94] Setelah melalui berbagai bujukan, termasuk di antaranya makan bersama Gubernur,[95] akhirnya warga bersedia dipindah sehingga waduk bisa dikeruk untuk menghadapi musim banjir 2014.[96]
Razia topeng monyet
Pada tanggal 22 Oktober 2013, ia mendapat sorotan media internasional[97] dan dukungan dari pecinta lingkungan[98]
setelah meluncurkan razia topeng monyet di Jakarta. Dalam razia ini,
pawai topeng monyet ditangkap namun diberikan uang pengganti Rp 1 juta
asalkan bersedia memberikan monyetnya untuk kemudian dipelihara dengan
lebih baik di Ragunan.[99]
Tidak hanya dianggap sebagai praktik penyiksaan hewan, monyet-monyet
ini terbukti 100 persen menderita cacingan dan dikhawatirkan terinfeksi
penyakit berbahaya lainnya sehingga mengancam kesehatan warga DKI
Jakarta.[100]
Namun kritik juga muncul akibat kebijakan ini, antara lain banyak hal
penting lainnya menyangkut kesejahteraan warga yang harus
diprioritaskan dibanding mengurusi monyet,[101] serta kekhawatiran pawang monyet tidak mendapat bekal yang layak untuk berganti profesi.
BY : wikipedia.org
BY : wikipedia.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar